Liberalisasi Pendidikan, Siapa yang Diuntungkan?
RANCANGAN Undang-Undang Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini mendapat kritik dari sejumlah kalangan.
RUU PT ini terkait dengan pembolehan penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia. Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam RUU PT di antaranya, disyaratkan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di negaranya.
Selain itu, PT asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
Sebenarnya jika dirunut kebelakang, munculnya RUU PT ini merupakan akibat dari bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun 1994.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan (rativikasi) “Agreement Astablising The World Trade” maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi legaslasi nasional.
WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).
Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah leberalisasi pendidikan.
Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer.
Dalam liberalisasi pendidikan seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Sofian Effendi, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada PT lokal.
Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000, dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung rugi dalam logika bisnis.
Sebagai negara yang memiliki 235 juta penduduk, Indonesia ternyata menjadi incaran negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan, yaitu pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Yang kemudian terwujud dengan munculnya RUU PT tersebut.
Liberalisasi pendidikan merupakan hal yang wajar dalam ranah internasional dan globalisasi saat ini. Di samping itu pula jika dirujuk ke WTO, liberalisasi pendidikan membuka peluang bagi negara anggota WTO untuk saling bersaing dalam pasar pendidikan. Tetapi liberalisasi pasar, merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.
Menurut Prof Sofian, pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam Asean Univercity Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi atau mutu akademik.
Pada tahun 2004, tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%.
Sehingga liberalisasi pendidikan jika diterapkan tentu akan merugikan Indonesia karena dari segi kualitas, pendidikan Indonesia masih belum siap untuk bersaing dengan PT asing. Walaupun dengan aturan seperti dalam RUU PT yang kehadiran PT luar negeri dilakukan dengan cara membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal.
Di samping itu pula liberalisasi pendidikan yang berorientasi for-profit bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Karena itu adalah sangat bijak seandainya pemerintah tidak terburu-buru dalam membuka sektor jasa pendidikan untuk diliberalisasikan.
0 komentar: on " "
Posting Komentar